Saturday, May 19, 2007

Uang dan Ilmu Bahagia

Rabu, 16 Mei 2007

IPTEK


Ninok Leksono

"Sebagian arti hidup adalah untuk mengalami senang dan susah. Hidup yang terus-menerus bahagia bukanlah hidup yang baik." (George Loewenstein, Ekonom di Carnegie Mellon University)

Satu hari, seorang rekan berseloroh, "Uang bukan segala-galanya, tetapi tanpa uang susah segala-galanya." Dalam ucapan yang mengundang senyum itu sesungguhnya terkandung falsafah atau kearifan hidup yang tidak saja mendalam, tetapi terasa aktual dan relevan. Terasa demikian barangkali justru karena kita menyaksikan perikehidupan masyarakat pada umumnya tak kunjung sejahtera, bahkan mungkin lebih buruk, sementara di pihak lain tidak sedikit pula pola hidup materialistis yang tampil menonjol, membuat uang seolah menjadi obsesi utama kehidupan.

Lalu, ketika uang yang amat diburu itu bisa diraih, benarkah bahagia datang mengiringi? Jawaban serta-merta tentu tidak kalau uang tersebut diperoleh dari praktik ilegal, dan badan pemburu seperti KPK lalu memperkarakannya. Namun, bagaimana kalau uang yang diraih tersebut halal?

Pertanyaan kuncinya: "apakah dengan itu kebahagiaan akan serta-merta datang?"

Pertanyaan ini secara tradisional masuk dalam wilayah psikologi dan dari waktu ke waktu terus menjadi topik riset. Namun, setidaknya sejak tahun 2004 telah muncul jawaban kuat bahwa "uang tak bisa membeli kebahagiaan" (Matthew Herper, Forbes, 21/9/2004).

Ketika seseorang yang membutuhkan tiba-tiba mendapat uang, memang saraf sukacita di otak akan bereaksi senang. Namun, kesenangan seketika tadi bagi sebagian besar orang tidak lalu menjadi kesenangan jangka panjang. Survei-survei yang pernah dilakukan mendapati bahwa tingkat kebahagiaan orang-orang superkaya yang masuk dalam daftar peringkat Forbes 400 lebih kurang sama dengan suku penggembala Maasai di Afrika Timur. Pemenang lotre pun akan kembali ke tingkat kebahagiaan semula setelah lima tahun.

"Hubungan antara uang dan kebahagiaan ternyata kecil saja," ujar Peter Ubel, seorang guru besar kedokteran di Universitas Michigan, seperti dikutip Forbes.

Tentu itu tidak bermaksud mengatakan bahwa penambahan penghasilan tidak ada artinya sama sekali. Namun, ada survei yang hanya mencatat korelasi 1 persen saja antara kekayaan dan kebahagiaan.

Para psikolog pun terus menyelidiki mengapa kekayaan tidak membawa perasaan senang yang terus-menerus. Satu kali diamati, pemenang lotre yang lalu berhenti bekerja dan membeli rumah bak istana, tetapi di tempat sepi tanpa tetangga, justru kesepian dan rasa tertekan yang ia peroleh, bukan kebahagiaan.

Di sisi lain muncul pertanyaan, jangan-jangan manusia terlalu berlebihan memersepsikan kebahagiaan? Apalagi kalau dikaitkan dengan apa yang dikemukakan Loewenstein yang diangkat sebagai kutipan di awal artikel ini?

Di luar pertanyaan kritis di atas, ada satu poin penting menyangkut hubungan antara uang dan kebahagiaan. Menurut Ed Diener, peneliti di Universitas Illinois yang melakukan survei atas Forbes 400 dan suku Maasai, orang yang bahagia nantinya cenderung punya penghasilan lebih tinggi dalam hidup. Jadi, meskipun uang mungkin tidak membantu manusia jadi bahagia, orang bisa lebih mudah mendapatkan uang kalau bahagia.

Ke ekonom dan politisi

Apabila penelitian di atas lebih terkait dengan pekerjaan psikolog, berikutnya para ekonom pun terpanggil untuk meneliti kaitan antara uang dan kebahagiaan. Ekonom pun kini menyadari bahwa uang tidak bisa membelikan kebahagiaan bagi seseorang. Dalam hal ini, ekonom, antara lain Andrew Oswald dari Universitas Warwick di Inggris, membandingkan data mengenai kekayaan, pendidikan, status perkawinan, dan hasil survei kebahagiaan.

Hasil survei menyebutkan, jika satu negara bisa menjadi cukup kaya—sekalipun masih jauh apabila dibandingkan dengan AS—maka pertumbuhan ekonomi lebih jauh mungkin tidak akan membuat warganya lebih bahagia lagi (Tim Harford, Forbes, 14/2/2006).

Itu sebabnya, Oswald dalam satu kuliahnya berani mengatakan, "Sekali satu negara sudah bisa mengisi gudang pangannya, tidak ada poinnya negara tersebut jadi lebih kaya."

Sekali lagi muncul penegasan, seperti diungkapkan Will Wilkinson dari Cato Institute, Washington DC, bahwa "dalam setiap masyarakat, pada waktu kapan pun, orang lebih kaya lebih bahagia". Namun, hal itu sendiri tidak bercerita banyak tentang hubungan antara uang dan kebahagiaan.

Terakhir, Newsweek (7/5/2007) menurunkan laporan utama "In Search of Happiness". Di sana dikemukakan pertanyaan penting, "mengapa politisi dan bahkan CEO mengkaji ulang pemikiran bahwa uang adalah ukuran tertinggi (ultimate) sukses nasional".

Pertanyaan di atas, seperti tertulis dalam laporan yang ditulis Rana Foroqhar, seolah menggugat hukum penting ekonomi yang mengatakan bahwa "kesejahteraan (well-being) merupakan fungsi sederhana penghasilan". Artinya, makin tinggi penghasilan, makin bahagia, demikian pula sebaliknya.

Kini, kebahagiaan tidak lagi dipandang sederhana dengan melihat "apa yang sudah kita punya, tetapi—misalnya saja—apakah kita punya lebih banyak dibandingkan dengan tetangga".

Dengan berubahnya tafsir atas kebahagiaan, para pembuat kebijakan kini banyak menyelidiki apa sesungguhnya yang membuat rakyat bahagia dan bagaimana mereka bisa menghadirkan itu bagi rakyat.

Kini, negara seperti Bhutan, Australia, China, Thailand, dan Inggris, telah memperkenalkan "Indeks Kebahagiaan" untuk digunakan bersama dengan produk domestik bruto (PDB) guna mengukur kemajuan satu masyarakat.

Para peneliti kebahagiaan terkemuka dunia saat berkongres di Roma belum lama ini memperdebatkan apakah sukacita itu bisa diukur, momentum untuk melangkah ke "negara bahagia" (well-being state) tampaknya sudah tak terbendung lagi. Musim panas ini, sejumlah tokoh penting, mulai dari Perdana Menteri Turki, ekonom kepala di Bank Dunia, dan pimpinan Google, akan bertemu untuk membahas cara guna beralih dari PDB sebagai ukuran kemajuan manusia.

Di era 1980-an, misalnya, slogan yang acap kita dengar adalah workaholic guna melukiskan bagaimana manusia demikian keranjingan kerja. Kini pun tema kompetisi banyak diangkat untuk memacu karyawan agar bekerja lebih keras lagi.

Pada sisi lain, yang juga telah banyak berkembang di negara maju, kalangan pekerja dan eksekutif top justru mulai mengendurkan laju kehidupan. Mereka mengatakan rela mendapat penghasilan lebih sedikit asal bisa menikmati hidup lebih nyaman, bisa punya waktu lebih banyak untuk berkumpul dengan keluarga, dan mengerjakan hal yang menyenangkan hati.

Buku-buku bertema How to Simplify Your Life atau How to Live A Simple Life karangan Elaine St James sempat menjadi bacaan yang menggugah. Namun, sekali lagi, tarik-menarik pastilah terus berlangsung antara hidup sederhana yang nyaman versus hidup dalam kelimpahan materi yang memberi kebebasan luar biasa. (Ninok Leksono)

No comments: