Saturday, May 12, 2007

Pendidikan dan Regenerasi Bangsa

Kompas, Sabtu, 12 Mei 2007

Yonky Karman

Menurut Pramoedya, banyak aktor sejarah di Tanah Air bukan produk pendidikan, tetapi produk budaya, sehingga bangsa Indonesia tidak dibentuk oleh pendidikan, tetapi oleh budaya (André Vitchek & Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian, 54).

Dan, budaya yang dominan adalah Jawanisme. Dalam budaya feodal, rasionalitas ilmu dalam pendidikan kalah dengan mentalitas feodal "asal bapak senang", taat kepada atasan tanpa sikap kritis. Yang penting bukan bicara kebenaran, tetapi tidak menyinggung perasaan atasan.

Swasta juga terjebak industri pendidikan. Sekolah-sekolah padat modal didirikan demi memperebutkan pangsa pasar yang jumlahnya amat kecil. Di Provinsi Papua Barat, hampir 80 persen siswa SD dan SMP terancam putus sekolah. Dengan angka, sekitar 97.000 siswa SD dan 27.500 siswa SMP. Cita-cita education for all di Tanah Air nyaris menjadi mimpi.

Pendidikan di Indonesia seharusnya mengubah mentalitas dan mengeluarkan bangsa dari keterbelakangan. Jika pendidikan berhasil melahirkan manusia Indonesia mencapai massa kritis yang mampu memberi arah perkembangan bangsa, maka terjadilah regenerasi bangsa. Martin Buber mengibaratkan pendidikan sebagai perkembangbiakan spiritual (The Writings of Martin Buber, 317-24).

Orientasi nilai

Sebagai makhluk dengan tubuh dan jiwa, regenerasi bisa dibedakan antara perkembangbiakan fisik (physical propagation) dan spiritual (spiritual propagation). Regenerasi bangsa tidak cukup hanya lewat beranak cucu, tetapi juga lewat penerusan nilai dan visi. Sebuah bangsa bertahan melebihi satu generasi karena identitas diri yang ditopang kontinuitas nilai dan visinya.

Sejauh ini, perkembangbiakan nilai belum menjadi fokus pendidikan nasional. Meski kebudayaan daerah (dan nasional?) sering diagung-agungkan, nilai tambahnya belum tampak dalam menghasilkan manusia Indonesia. Pendidikan belum dihargai sebagai jalan regenerasi bangsa.

Filosofi pendidikan kita tidak fokus. Pendidikan diselenggarakan tanpa refleksi, hanya bagian aktivisme dan kadang reaktif. Gambaran manusia Indonesia produk pendidikan nasional tidak membumi. Sebagai contoh, institusi pendidikan dibebani tujuan menghasilkan insan bertakwa, sebuah tugas yang belum tentu bisa diemban institusi agama.

Salah satu parameter keberhasilan proses pembelajaran adalah internalisasi nilai dalam beberapa tahap (kognitif-afektif-konatif-praktik). Setelah pelajar mengerti sesuatu, ia menghargai yang dipelajari. Lalu, muncul komitmen pribadi untuk melakukan yang sudah dihargai itu. Akhirnya, apa yang diyakini sebagai baik dilakukan secara konsisten tanpa hambatan internal (misalnya, rasa takut) dan eksternal (misalnya, tekanan dari orang lain).

Mengintegrasikan nilai bukan sebuah proses sederhana. Itu pendidikan hati yang melibatkan manusia seutuhnya (Thomas Moore, The Education of the Heart, 1996). Nilai dikembangbiakkan lewat refleksi dan ekspresi bebas, tetapi bermartabat. Pengajaran tidak hanya berhenti di otak. Tindakan juga bukan bagian aktivisme, melainkan bagian dari tanggung jawab.

Dalam perkembangbiakan nilai, generasi yang belajar tidak hanya menerima pengajaran, tetapi juga memproduksi dan memperbaruinya. Pelajar dibersihkan dari sampah pikiran dan diajak memikirkan kehidupan yang indah. Demikianlah, pendidikan mencerdaskan dan mencerahkan.

Orientasi proses

Pembelajaran seperti itu menempatkan pelajar sebagai subyek, pusat, dan fokus pendidikan. Guru hanya fasilitator dan pendamping murid. Proses pembelajaran dilakukan dalam suasana berbagi di antara guru dan murid. Maka, mengajar bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi kegiatan berbagi pengetahuan sekaligus ketidaktahuan.

Tekanan pembelajaran bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan yang komprehensif. Bukan hanya transfer pengetahuan atau pembekalan keterampilan, tetapi juga perkembangbiakan nilai. Maka, pendidikan melahirkan jiwa baru. Jiwa bangsa diteruskan saat generasi pengajar mentransfer nilai kepada generasi pelajar, yang nanti bertumbuh menjadi generasi pengajar yang baru.

Keberhasilan pendidikan di Indonesia harus membuktikan diri dengan memupus kultur feodal di sekolah. Dalam relasi kekuasaan yang pincang, guru cenderung merasa punya pengetahuan, murid tidak memilikinya. Murid diposisikan sebagai konsumen pengetahuan yang harus membelinya dari guru. Bahkan, transaksi itu jadi vulgar, seperti kecurangan pelaksanaan ujian nasional di Medan yang dilaporkan para penggiat pendidikan yang tergabung dalam komunitas Air Mata Guru.

Selain feodalisme, salah satu problem besar bangsa adalah sifat konsumtif lebih kuat dari sifat produktif. Konsumerisme menjadi salah satu pangkal korupsi. Maka, pencapaian pendidikan nasional harus diukur dari keberhasilan mencetak insan muda yang kreatif dan produktif.

Proses

Menjadi intelektual adalah proses yang membutuhkan ketekunan dan ketelitian. Tahun 1934, saat masih sedikit orang Indonesia bertitel sarjana, Sjahrir mengeluh kurangnya kehidupan ilmiah dan minat sungguh-sungguh atas ilmu pengetahuan di kalangan kaum bertitel (Renungan dan Perjuangan, 5-6). Ukuran orang saat itu terutama bukan tingkat kehidupan intelektual, tetapi pendidikan sekolah.

Para pemegang titel itu cuma tahu bacaan vak sendiri, tetapi mereka bukan intelektual. Bagi mereka, ilmu pengetahuan hanya sesuatu yang lahiriah, bukan kekayaan batiniah. Ilmu pengetahuan hanya diperlakukan sebagai barang mati, bukan hakikat hidup, yang berkembang, yang harus selalu dipupuk dan dipelihara.

Ketiadaan sikap intelektual bukan karena orang Indonesia kurang cerdas, tetapi karena belum terbentuk iklim dan masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Orang baru berkenalan dengan kulit ilmu pengetahuan, bukan ilmu pengetahuan sebagai pengertian yang hidup dan menuntut keseriusan, seperti banyak dijumpai di Eropa. Itulah keluhan Sjahrir.

Sejauh ini, pendidikan kita lebih berorientasi hasil. Orientasi hasil mementingkan jawaban soal daripada proses pengerjaan. Ujian nasional kita membuat siswa memfokuskan diri pada bidang-bidang studi yang diuji. Bidang-bidang studi lain yang penting dalam nation and character building menjadi terabaikan. Terjadilah pendangkalan tradisi intelektual.

Dalam masyarakat yang memiliki tradisi intelektual, studi akademis menuntut cara belajar yang baik dan serius. Untuk itu, dibutuhkan pengekangan diri dan disiplin. Meminjam istilah Weber, orang melakukan asketisisme intelektual. Cara belajar demikian dengan sendirinya menabur benih-benih watak intelektual.

Jepang menempuh jalan pendidikan untuk bangun dari kehancuran negeri akibat Perang Dunia II. Pengalaman Jepang adalah pengalaman banyak negara, seperti Jerman, Korea Selatan, Vietnam. Indonesia tidak akan maju jika terus tertinggal dalam pendidikan. Dalam jangka panjang, pendidikan di Tanah Air bisa menyelesaikan problem ketertinggalan bangsa di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelangsungan bangsa tergantung pendidikan yang berorientasi nilai dan proses.

Yonky Karman Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Cipanas

No comments: