Wednesday, May 16, 2007

Teori Pembangunan Sudah Mati?

Kompas, Rabu, 16 Mei 2007

Meuthia Ganie-Rochman

Tidak banyak orang sadar, sejak pertengahan 1980-an terjadi proses polisentrisasi sekaligus pengerangkengan konsep dan teori dalam riset bidang pengetahuan sosial.

Kecenderungan pertama mempunyai beberapa karakter. Pertama, lingkup riset dan karya ilmiah bertujuan menjawab aneka pertanyaan yang lebih praktis dan berlingkup lebih sempit.

Pendekatan berpindah dari strukturalisme ke konstruktivisme. Juga terjadi a-ideologi, yaitu kian tidak mendapat tempatnya pernyataan yang tanpa data. Contoh dari tema-tema yang populer adalah studi jender, desentralisasi, modal sosial, jaringan, dan institusionalisasi.

Kecenderungan ini pada satu sisi positif karena memberi kemungkinan dihasilkan pengetahuan yang spesifik. Namun, di pihak lain, pemikiran-pemikiran tentang pembangunan yang bersifat teoretis seperti terabaikan.

Terdapat keengganan menangani konsep besar dan alergi terhadap perlunya kerangka awal intervensi pembangunan. Tema-tema seperti model ekonomi apa saja yang ada saat ini serta apa yang kita inginkan dari sana bukan sesuatu yang mudah didapat.

Latar belakang dunia mungkin berpengaruh. Negara bukan agen pembangunan yang populer lagi sejak tahun 1980-an. Yang membingungkan, India dan China sebagai kekuatan ekonomi dunia baru bukan lahir dari model pemerintahan yang dianggap ideal!

Pelaku bisnis tak pernah populer di kalangan ilmuwan sosial. Sedangkan masyarakat, di mata para ilmuwan sosial, ialah sesuatu yang penuh kemungkinan dan mengandung banyak kontradiksi sehingga sukar membayangkannya sebagai agen yang memimpin perubahan.

Kecenderungan kedua, pengaruh organisasi pembangunan internasional dan yang berasal dari negara-negara Barat semakin besar dalam menentukan isu apa yang dianggap penting dalam penelitian ilmu sosial.

Kecenderungan kedua sejalan dengan adanya dua fenomena besar. Yang pertama adalah gelombang demokratisasi atau redemokratisasi di Asia dan Amerika Latin dan dilanjutkan dengan runtuhnya negara komunis Eropa Timur.

Yang kedua adalah dorongan liberalisasi pasar, yang di Indonesia sudah mulai mengalaminya sekitar pertengahan 1980- an. Hasil dari kedua gelombang besar ini adalah fokusnya pada isu-isu tata kelola publik dan korporasi yang baik (good governance) dan kapasitas organisasi masyarakat sebagai pelaku pembangunan.

Pengaruh dari organisasi pembangunan dapat dilihat pada pertanyaan riset. Jika dalam penelitian ilmu sosial, atau penelitian ilmiah mana pun, pertanyaan yang membimbing adalah mencari pemahaman tentang "Mengapa", "Dengan cara bagaimana", dan "Dengan kondisi apa", maka pertanyaan riset menjadi: apakah organisasi publik dan organisasi masyarakat mempunyai karakteristik-karakteristik yang diharapkan (demokratik, kritis, mempunyai kapasitas pengelolaan).

Artinya, pertanyaan penelitian sudah diarahkan pada kondisi ideal tertentu. Antara riset dan program aksi batasannya menjadi lebih kabur.

Dalam konteks di atas, riset harus berarti bisa menjawab kebutuhan program aksi. Untuk pada tingkat itu, hubungan antarfaktor tidak boleh terlalu rumit dan lingkup persoalan tidak boleh terlalu luas. Inilah penyebab lain yang mendorong ke arah polisentrik penelitian. Orang cenderung melihat persoalan secara sederhana dengan harapan bisa dikontrol.

Penelitian-penelitian yang berperspektif program tentu mempunyai manfaatnya sendiri. Akan tetapi, kecenderungan ini berdampak negatif jika orang lupa bahwa tujuan penelitian adalah memahami subyek penelitian. Bertentangan dengan semangat yang sering diangkat tentang "demokratisasi lokal" penelitian yang dibawakan dengan cara seperti itu justru berkhianat untuk berusaha memahami kondisi lokal. Sebagai contoh, karakter spesifik aktor dan lembaga di tingkat lokal tidak murni ingin dipahami, melainkan sudah diarahkan dengan kerangka tertentu.

Kecenderungan untuk menjadi praktis membuat orang lupa tentang konteks besarnya. Padahal, di dunia nyata, subyek selalu terkait dengan banyak hal dan pada berbagai tingkatan. Penelitian-penelitian yang dibiayai donor dalam jumlah besar sering berbentuk kumpulan studi kasus atau studi sub-sub sektoral. Setelah berbagai kasus ini dipelajari, "lupa" menganalisa karakter konteks besarnya.

Di Indonesia, berbagai kecenderungan di atas juga terjadi. Dana penelitian yang tersedia sebagian besar dari organisasi pembangunan internasional/ asing dengan perspektif programatik seperti isu-isu demokratisasi lokal, perbaikan pelayanan publik. Banyak penelitian mengabaikan pertanyaan yang bertujuan memahami karakteristik spesifik lokal. Bahkan, hal seperti itu juga sering ditemui pada penelitian tentang lembaga-lembaga lokal dan tradisional.

Penelitian yang mengarah pada pemahaman lebih luas dari subyek sering diabaikan. Misalnya, saat ini pendekatan pembangunan daerah/kewilayahan sudah diabaikan, dan hanya melihat, misalnya, peran industri setempat dalam pembangunan ekonomi lokal.

Mungkin ada pengaruh juga dari kerangka berpikir tentang sistem politik kita, yaitu tentang desentralisasi. Sejalan dengan perubahan sistem yang menjamin dinamika politik lokal, kerangka sosial ekonomi kita juga terkurung di tingkat kabupaten/ kotamadya.

Secara tidak sadar, terdapat penghindaran untuk berpikir mengatasi persoalan ekonomi lokal dengan cara kerja sama antarpemimpin daerah. Barangkali logis juga, mengingat tingkah laku para politisi lokal.

Untuk Indonesia, menghasilkan teori pembangunan sendiri saat ini dianggap kemewahan mengingat dunia riset tidak pernah dianggap penting. Namun, kita dapat memulai dengan mendiskusikan kembali beberapa tema dasar yang diperlukan untuk penataan sosial ekonomi.

Tema-tema tersebut adalah peran negara, macam modernitas yang dibutuhkan masyarakat Indonesia, hubungan kewarganegaraan, model ekonomi untuk mengembalikan tingkat pertumbuhan, dan model reformasi birokrasi.

Bagaimanapun, berbagai macam riset harus dilakukan sebagai ukuran mengambil kebijakan dan tindakan aksi masyarakat. Kita ini amat miskin dalam memahami masyarakat kita sendiri, padahal untuk mengatasi persoalan berat bangsa ini pemikiran-pemikiran baru harus dihasilkan.

Maka, wahai pemerintah dan para politisi, berhentilah berargumen yang banal.

Meuthia Ganie-Rochman
Sosiolog Universitas Indonesia


 

No comments: