Wednesday, May 16, 2007

Oase Moral dari Tegal

Kompas, Rabu, 16 Mei 2007

Masdar Hilmy

Mengundurkan diri dari jabatan publik karena tekanan politik merupakan pilihan yang wajar.

Namun, mengundurkan diri ketika sedang di puncak kemegahan dan kejayaan bukan saja merupakan pilihan luar biasa, tetapi juga pilihan gila, terutama saat banyak orang menginginkan ada di posisi itu. Jika mungkin, jabatan itu harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan apabila ada yang mengusiknya. Di negeri ini, figur publik yang berani mengambil pilihan gila seperti itu amat langka.

HA Ghautsun, anggota sekaligus Ketua DPRD Kodya Tegal, menjadi salah satu dari yang langka ini. Dia telah menunjukkan sebuah kualitas moral yang jarang dimiliki kebanyakan pejabat kita. Dia memilih mengundurkan diri dari posisinya saat tidak ada alasan atau tekanan politik untuk mengundurkan diri.

Apa pun alasan dan motif yang mendasarinya, pilihan moral Ghautsun menyiratkan sebuah oase moral yang adiluhung di tengah tumpul dan robohnya nurani bangsa. Pilihan itu menjadi paradoks politik mutakhir pascadrama perombakan kabinet SBY. Di tengah ketidakpuasan masyarakat akan hasil perombakan jilid II yang tidak mencerminkan tuntutan masyarakat, langkah pengunduran diri itu menjadi contoh yang layak diapresiasi dalam lanskap politik kita. Oase moral ini diharapkan mampu memancarkan energi positif bagi perbaikan tradisi dan pelembagaan politik di Tanah Air pada masa-masa mendatang.

"Mundur untuk maju"

Salah satu spekulasi yang berkembang di balik pengunduran sejumlah tokoh politik di Tanah Air adalah "mundur untuk maju". Artinya, langkah mundur seseorang hanya strategi untuk meraih sesuatu yang lain, baik dalam pengertian yang sempit, seperti jabatan lebih tinggi, maupun dalam pengertian luas (baca: berkiprah secara lebih luas di tingkat yang lebih tinggi) seperti yang ditunjukkan Sultan Hamengku Buwono X yang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Gubernur DI Yogyakarta.

Meski demikian, pilihan politik "mundur untuk maju" tetap masih lebih baik ketimbang tradisi keukeuh sebagian pejabat kita yang tidak mau mundur meski nyata-nyata gagal mengatasi persoalan yang dihadapi.

Pilihan bertahan pada jabatan yang digenggamnya merupakan bukti bahwa etika-moral sebagian besar pejabat kita masih berpijak pada positivisme hukum dan perundangan yang cenderung hitam- putih. Mereka memilih bertahan pada jabatannya sepanjang tidak melanggar undang-undang, Tradisi politik semacam ini cenderung bebal terhadap infiltrasi pencerahan nurani.

Langkah mengundurkan diri dari jabatan publik juga menjadi barang aneh sekaligus langka saat kultur politik yang tengah menjadi rule of the game adalah kultur perebutan kuasa yang nyaris tanpa malu. Yang terjadi dalam realitas politik kita adalah menguatnya kepentingan pribadi, keluarga, serta golongan di atas kepentingan rakyat banyak.

Alih-alih, pilihan mengundurkan diri justru menuai cibiran dan tuduhan mencari sensasi. Dalam arus utama kultur semacam ini, langkah pengunduran diri hanya diambil oleh mereka yang "kalah perang", "lari dari tanggung jawab", atau "menyerah sebelum bertanding". Argumentasi klise yang sering kita dengar adalah "untuk apa mengundurkan diri saat tidak ada alasan kuat untuk mengundurkan diri?"

Hedonisme dan altruisme

Dalam kamus kehidupan politik kita, tak dikenal istilah mengundurkan diri karena nalar politik kita lebih banyak dikuasai mosi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Mengundurkan diri menjadi anomali, paradoks, dan anakronisme di tengah kepungan mentalitas demikian.

Secara budaya, mengundurkan diri mungkin lebih banyak diasosiasikan dengan kegagalan atau ketidakmampuan seseorang menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Mengundurkan diri adalah bentuk ketidakbertanggungjawaban, ketidakmampuan, ketidakjantanan, dan semacamnya. Dalam budaya demikian, mengundurkan diri lebih banyak dicela ketimbang dibela.

Nilai-nilai itu terutama mengemuka dalam struktur budaya yang menempatkan maskulinitas kekuasaan dalam episentrum kesadaran politiknya. Budaya semacam ini dicirikan oleh agregasi dan penguasaan terhadap sumber-sumber daya ekonomi-politik sebanyak-banyaknya demi sebuah kemegahan dan kedigdayan.

Dalam kondisi seperti ini, mengundurkan diri dari jabatan publik berarti melepas sumber daya ekonomi-politik yang justru akan menggerus kemegahan dan kedigdayaan itu. Sebaliknya, mempertahankan kekuasaan adalah simbol kejantanan dan kedigdayaan. Sebuah persepsi yang sebenarnya kontraproduktif bagi pembangunan mentalitas politik yang bersih dan akuntabel.

Meski demikian, kecenderungan mempertahankan kekuasaan, dalam perspektif biologi evolusioner, berkelindan erat dengan kecenderungan melanggar peraturan (Roger D Masters, The Nature of Politics, 1989: 6).

Pandangan ini mendapatkan justifikasi Lord Acton dalam adagium klasiknya: power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely. Dalam pandangan mazhab pemikiran ini, manusia secara biologis cenderung hedonis dan egois, lebih mementingkan diri, serta bebas dari rasa malu saat berbagai pelanggaran moralnya tidak diketahui publik. Sejalan dengan ini, altruisme adalah watak yang cenderung dijauhi.

Sebaliknya, manusia akan mengalami rasa malu dan mau menerima hukuman hanya ketika pelanggarannya diketahui orang banyak. Maka, tidak mengherankan jika sistem penegakan hukum di sejumlah negara maju dikembangkan di atas prinsip ketidakpercayaan terhadap watak dasar manusia yang cenderung ingin melanggar peraturan.

Dalam konteks inilah program penegakan hukum selalu berjalan secara tandem dengan pengawasan publik (public surveillance) secara simultan. Sebab, sistem pengawasan bisa menciptakan pembiasaan yang pada gilirannya melahirkan norma keseharian sebagai hasil dari kristalisasi norma-norma itu ke dalam kesadaran terdalam seseorang.

Transplantasi altruisme

Secara etika-moral, dalam tradisi pengunduran diri sebenarnya terkandung konsep kehormatan diri (self-esteem) serta sikap altruistik. Ironinya, tradisi inilah yang hingga kini masih absen dari kehidupan politik kita, yakni jiwa mengorbankan diri demi kepentingan orang banyak. Sikap altruistik sebenarnya telah banyak diwartakan agama-agama, tetapi internalisasi dan pelembagaan altruisme sering berhenti pada ritualitas formal belaka. Akibatnya, misi-misi profetik agama kandas akibat pembajakan simbol-simbol keagamaan demi memenuhi tuntutan libido biologis sebagian penganutnya.

Inilah saat yang tepat untuk menggemakan kembali keluhuran altruisme dalam tradisi politik kita. Mari kita mentransplantasi pola hidup altruistik dari jiwa agama ke dalam kehidupan politik agar roh keadilan dan kesejahteraan benar-benar dapat membumi. Lebih baik dan terhormat mengikuti jejak Ghautsun, terutama bagi mereka yang merasa tidak mampu lagi mengemban tanggung jawab publiknya, daripada hidup menanggung malu.

Masdar Hilmy Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya Kelahiran Tegal


 

1 comment:

Anonymous said...

30 garing deCh...
tp tetep oK kUk,,,
pOkOkna 30 jgn kLh canggih sama skuL2 Lainnya y,,
cahYo 30..

siSwi 30 yg teLadan*