Wednesday, May 30, 2007

Foto Minggu Ini



Yang tampil dalam Foto Minggu Ini di blog kita kita kali ini adalah Ibu Rosi Nilawati. Guru Matematika kelas X. Ibu ini selalu ceria banyak tertawa dan bercerita. Semua ceritanya pasti lucu. Karena beliau sering tertawa duluan sebelum ceritanya habis, sehingga pendengarnya akan segera ikut tertawa pula. Walaupun ... kurang jelas yang diceritainnya apa. Tapi ... ya lucu aja. abis yang ceritanya lucu sih.

"Ayo anak-anak... mari kita tepuk tangan bersama-sama" kata bu Rosi dengan riang. Anak-anak (tidak terlihat dalam poto) agak bingung, apa yang mesti ditepukin. Tapi karena kasian sama bu (Rosi), akhirnya anak-anak bertepuk tangan juga. "Apa boleh buat..." kata anak-anak, daripada benjol.

Sebulan Ditinggalkan Pak Inung



Pak Inung dipoto bersama pak Dewan. Waktu itu kami ke Bogor, habis lebaran tahun lalu, dalam rangka menghadiri acara "Mengajar tanpa dihajar Stress"

Acara intinya meditasi dan relaksasi. Jadi dalam rangka memasuki awal semester dua, pak Wayan mengharapkan para guru mengajar dengan penuh semangat. Oleh karena itu pak Wayan mengajak guru SMA 30 ke acara ini.

Selain itu juga ada buku-buku yang mengajarkan metode ini untuk dipelajari sendiri. Dalam poto nampak pak Inung lagi melihat-lihat buku itu.

Nah... poto yang bawah itu pak Inung dipoto rame-rame sama temen-temen. Kelihatan khan, ceria dan penuh semangat.

Tapi ya... pak Inung sudah tidak bersama kita lagi. Ia sudah jalan duluan. Tidak lagi ngajar, ngoreksi, atau ngentry nilai ke SAS sampe nginep-nginep seperti semester kemaren.

Semoga Allah SWT melapangkan jalanmu di alam kubur, pak Inung. Temen-temen di sekolah mendoakanmu.


Tuesday, May 22, 2007

Persidangan UN: Pemerintah Kalah, Dinilai Lalai Penuhi Hak Asasi

Kompas, Selasa, 22 Mei 2007

Jakarta, Kompas - Gugatan warga negara terhadap pemerintah atau citizen law suit terkait kebijakan Ujian Nasional atau UN Tahun 2006 oleh 58 orang yang mewakili berbagai komponen masyarakat, dimenangkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang putusan akhir di Jakarta, Senin (21/5). Pemerintah dinilai lalai dalam memenuhi dan melindungi hak asasi warga negara yang menjadi korban kebijakan UN yang ditetapkan pemerintah.

Ketika Hakim Ketua Adriani Nurdin selesai membaca keputusan, puluhan siswa SMA, siswa dan orangtua korban UN, serta masyarakat peduli pendidikan menyambut gembira dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Usai sidang ditutup, secara spontan sejumlah orangtua dan guru bersujud syukur di ruang sidang.

Dalam keputusannya, Majelis Hakim mengabulkan gugatan subsider para penggugat yang memohon hakim untuk memutuskan kasus ini seadil-adilnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Yusuf Kalla, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, dan (mantan) Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Bambang Suhendro selaku tergugat I-IV dalam kasus ini dinyatakan telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak.

Mengenai pelaksanaan UN selanjutnya, majelis hakim memerintahkan para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan UN. Sistem pendidikan juga perlu ditinjau.

Adapun untuk siswa yang telah menjadi korban UN, kepada para tergugat diminta untuk segera mengambil langkah-langkah konkret guna mengatasi gangguan psikologis dan mental para perserta didik usia anak akibat penyelenggaraan UN. Dalam kasus ini, para tergugat diharuskan membayar biaya perkara sebesar Rp 374.000.

Wolter Siringo-ringo, salah satu kuasa hukum tergugat (pemerintah), akan melaporkan keputusan hakim tentang UN ini kepada pimpinan mereka. "Jika ditanya, puas apa tidak, ini kan proses hukum. Saya harus melaporkan ini ke pimpinan dulu."

Suasana haru menyambut kemenangan masyarakat yang berupaya agar UN tak dijadikan penentu kelulusan. Orangtua dan anaknya yang menjadi korban UN saling berpelukan dan bertangisan karena penderitaan mereka akibat kebijakan UN akhirnya "didengar". (ELN/WIN)

Saturday, May 19, 2007

Pintar, tetapi Tertutup

Kompas, Sabtu, 19 Mei 2007

Rhenald Kasali

Dalam buku Genom, yang ditulis Matt Ridley, ada nama Joe-Hin Tjio. Disebutkan, Joe, orang Indonesia, telah berperan penting dalam upaya manusia mengurai sandi-sandi yang tersimpan dalam DNA.

Upaya yang dilakukan tahun 1955 itu telah menjembatani karya spektakuler Francis Crick dan James Watson (penemu teori DNA dalam genetika biologi) dengan turunannya, yaitu genetika perilaku. Bersama Albert Levan, Joe-Hin Tjio berhasil mengurai bahwa genetika manusia terdiri atas 23 pasang sel kromosom, bukan 24, seperti dimiliki spesies kera. Proses evolusi menggabungkan dua pasang kromosom kera pada kromosom dua sehingga terwujud sosok manusia. Demikian dijelaskan pakar teori evolusi yang menyaksikan perbedaan pada kromosom dua itu, yang tampak pada pola pita-pita hitam.

Berkat temuan itu, kini para ahli berhasil membaca karakter-karakter apa yang disimpan pada setiap pasang dari 23 sel kromosom manusia, mulai dari kecerdasan, konflik, stres, kepribadian, seks, sampai kemampuan merakit diri.

Bibit-bibit pintar

Joe-Hin Tjio adalah fakta pintarnya orang-orang asal Indonesia. Fakta-fakta lain, diurai Prof Yohanes Surya, yang berhasil mengibarkan bendera Indonesia di antara pelajar asing yang bertarung dalam Olimpiade fisika.

Yohanes Surya telah membawa putra- putri asal Irian Jaya, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, sampai Pulau Jawa, yang ternyata tidak kalah pintar dengan pelajar asing. Padahal, kalau kita jujur, berapa besar investasi yang ditanamkan di bidang pendidikan dibandingkan dengan investasi serupa di negara-negara blok Timur.

Dalam bidang bisnis, putra-putri Indonesia juga tidak kalah pintar. Pada akhir abad ke-20, dua kakak-beradik, Sehat dan Pantas Sutarya, terpilih sebagai orang terkaya di bawah usia 40 tahun di Amerika Serikat. Dua alumnus SMA Kanisius, Jakarta, itu diketahui merantau ke AS sekitar tahun 1980-an dan bersekolah di kampus bergengsi di sana, lalu melakukan penemuan spektakuler di bidang teknologi informasi dan berhasil mengapitalisasinya melalui pasar modal.

Di mana-mana di Indonesia, orang menginginkan anak-anaknya menjadi juara kelas. Perbincangan di kalangan orangtua yang menjemput anak-anaknya di berbagai sekolah (khususnya sekolah dasar) juga tidak lebih dari soal prestasi belajar. Melalui pertanyaan, apa yang membuat para ibu/bapak bangga terhadap anak- anaknya, selalu dijawab: juara kelas.

Keinginan itu dijawab sejumlah pedagang. Mereka menawarkan kursus-kursus berhitung, buku, bahkan aneka seminar yang menjanjikan anak-anak bisa diubah seketika menjadi super-rajin dan superpintar. Bahkan, ada yang menjanjikan dua hal sekaligus: pintar dan cepat kaya.

Terbuka dan kreatif

Kepintaran seseorang dalam dunia akademis bukan penentu tunggal dalam kesuksesan hidup. Bahkan, bukan itu pula tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah untuk memperbaiki cara berpikir seseorang, sekaligus membebaskan manusia dari berbagai belenggu mitos yang mengikatnya. Prosesnya pun panjang, antara 12-18 tahun. Dalam rentang waktu panjang itu sulit ditemui orang yang begitu persisten, pandai secara akademis.

Sejarah menemukan ada orang-orang yang memiliki pola bekerja dan belajar seperti mesin diesel, yang panasnya memerlukan waktu. Lebih mengagetkan lagi, mereka yang pintar secara akademis belum tentu pintar di dunia bekerja.

Dalam hukum genetika perilaku, unsur-unsur pembentuk kepribadian manusia tersimpan dalam bentuk sandi-sandi. Salah satu unsur penting dalam sandi itu adalah huruf O yang mengandung makna keterbukaan (Open mind atau Openness to experience). Dengan demikian, kita mengenal dua jenis manusia pintar.

Pertama, orang-orang pintar yang dikenal sebagai wirausaha sukses yang berhasil membangun berbagai perusahaan besar dan penerima hadiah nobel diketahui memiliki unsur O amat tinggi. Mereka memiliki banyak minat, terbuka terhadap hal-hal baru, kritis, imajinatif, cenderung fleksibel, dan menyukai originalitas.

Kedua, kepintaran mereka berbeda dengan orang-orang yang suka menghabiskan waktu sia-sia sejak di SD yang hanya mengejar nilai tinggi di sekolah. Mereka ini memang pintar, tetapi unsur O mereka bisa jadi amat rendah. Banyak ditemui orang-orang, yang meski berpendidikan tinggi, cenderung reaktif, defensif, bahkan dogmatik. Meski tidak semua orang pintar bersikap demikian, orang-orang yang tertutup punya kecenderungan seperti ini.

Akibatnya, mereka amat resisten dengan hal-hal berbau pembaruan. Bahkan, mereka ingin cepat menyerang, bukan memikirkan atau memeriksa segala hal yang bertentangan dengan pendapatnya atau ilmu yang dianutnya. Mereka tidak welcome terhadap fakta-fakta baru, bahkan cenderung menyangkalnya. Orang-orang seperti ini, meski track-record sekolahnya terbilang pandai dan kemampuan berteorinya tinggi, adalah orang-orang yang tertutup sehingga kurang adaptif.

Jika sebuah institusi dipimpin atau banyak dipimpin oleh orang-orang pintar tipe kedua, dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi dengan masa depan institusinya. Kinerjanya akan terus merosot, penerimaan publik dan respek terhadapnya berkurang, tetapi oknum-oknum pintar itu selalu menyangkalnya.

Kenyataan ini berbeda dengan berbagai organisasi yang dipimpin orang-orang yang memiliki cara pandang yang terbuka (pintar tipe pertama). Orang-orang dengan sandi O yang tinggi ini terlihat demikian bergairah mengeksplorasi hal-hal baru dan cenderung kreatif. Mereka juga bukan pemarah yang mudah larut dimakan gosip, tetapi pemberani yang mewujudkan impian baru di masa depan.

Kita perlu memikirkan kembali makna pembelajaran, yaitu apakah untuk membebaskan diri dari berbagai belenggu dengan cara lebih terbuka, atau hanya untuk memintarkan secara akademis. Tentu jauh lebih baik membebaskan mereka dari ketertutupan daripada membesarkan orang- orang pintar, tetapi otaknya tertutup. Seperti kata Albert Einstein, "Ukuran kecerdasan manusia sebenarnya terletak pada kemampuannya untuk berubah." Itulah makna kecerdasan, yang terkait erat dengan keterbukaan dalam berpikir.

Rhenald Kasali Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia

Uang dan Ilmu Bahagia

Rabu, 16 Mei 2007

IPTEK


Ninok Leksono

"Sebagian arti hidup adalah untuk mengalami senang dan susah. Hidup yang terus-menerus bahagia bukanlah hidup yang baik." (George Loewenstein, Ekonom di Carnegie Mellon University)

Satu hari, seorang rekan berseloroh, "Uang bukan segala-galanya, tetapi tanpa uang susah segala-galanya." Dalam ucapan yang mengundang senyum itu sesungguhnya terkandung falsafah atau kearifan hidup yang tidak saja mendalam, tetapi terasa aktual dan relevan. Terasa demikian barangkali justru karena kita menyaksikan perikehidupan masyarakat pada umumnya tak kunjung sejahtera, bahkan mungkin lebih buruk, sementara di pihak lain tidak sedikit pula pola hidup materialistis yang tampil menonjol, membuat uang seolah menjadi obsesi utama kehidupan.

Lalu, ketika uang yang amat diburu itu bisa diraih, benarkah bahagia datang mengiringi? Jawaban serta-merta tentu tidak kalau uang tersebut diperoleh dari praktik ilegal, dan badan pemburu seperti KPK lalu memperkarakannya. Namun, bagaimana kalau uang yang diraih tersebut halal?

Pertanyaan kuncinya: "apakah dengan itu kebahagiaan akan serta-merta datang?"

Pertanyaan ini secara tradisional masuk dalam wilayah psikologi dan dari waktu ke waktu terus menjadi topik riset. Namun, setidaknya sejak tahun 2004 telah muncul jawaban kuat bahwa "uang tak bisa membeli kebahagiaan" (Matthew Herper, Forbes, 21/9/2004).

Ketika seseorang yang membutuhkan tiba-tiba mendapat uang, memang saraf sukacita di otak akan bereaksi senang. Namun, kesenangan seketika tadi bagi sebagian besar orang tidak lalu menjadi kesenangan jangka panjang. Survei-survei yang pernah dilakukan mendapati bahwa tingkat kebahagiaan orang-orang superkaya yang masuk dalam daftar peringkat Forbes 400 lebih kurang sama dengan suku penggembala Maasai di Afrika Timur. Pemenang lotre pun akan kembali ke tingkat kebahagiaan semula setelah lima tahun.

"Hubungan antara uang dan kebahagiaan ternyata kecil saja," ujar Peter Ubel, seorang guru besar kedokteran di Universitas Michigan, seperti dikutip Forbes.

Tentu itu tidak bermaksud mengatakan bahwa penambahan penghasilan tidak ada artinya sama sekali. Namun, ada survei yang hanya mencatat korelasi 1 persen saja antara kekayaan dan kebahagiaan.

Para psikolog pun terus menyelidiki mengapa kekayaan tidak membawa perasaan senang yang terus-menerus. Satu kali diamati, pemenang lotre yang lalu berhenti bekerja dan membeli rumah bak istana, tetapi di tempat sepi tanpa tetangga, justru kesepian dan rasa tertekan yang ia peroleh, bukan kebahagiaan.

Di sisi lain muncul pertanyaan, jangan-jangan manusia terlalu berlebihan memersepsikan kebahagiaan? Apalagi kalau dikaitkan dengan apa yang dikemukakan Loewenstein yang diangkat sebagai kutipan di awal artikel ini?

Di luar pertanyaan kritis di atas, ada satu poin penting menyangkut hubungan antara uang dan kebahagiaan. Menurut Ed Diener, peneliti di Universitas Illinois yang melakukan survei atas Forbes 400 dan suku Maasai, orang yang bahagia nantinya cenderung punya penghasilan lebih tinggi dalam hidup. Jadi, meskipun uang mungkin tidak membantu manusia jadi bahagia, orang bisa lebih mudah mendapatkan uang kalau bahagia.

Ke ekonom dan politisi

Apabila penelitian di atas lebih terkait dengan pekerjaan psikolog, berikutnya para ekonom pun terpanggil untuk meneliti kaitan antara uang dan kebahagiaan. Ekonom pun kini menyadari bahwa uang tidak bisa membelikan kebahagiaan bagi seseorang. Dalam hal ini, ekonom, antara lain Andrew Oswald dari Universitas Warwick di Inggris, membandingkan data mengenai kekayaan, pendidikan, status perkawinan, dan hasil survei kebahagiaan.

Hasil survei menyebutkan, jika satu negara bisa menjadi cukup kaya—sekalipun masih jauh apabila dibandingkan dengan AS—maka pertumbuhan ekonomi lebih jauh mungkin tidak akan membuat warganya lebih bahagia lagi (Tim Harford, Forbes, 14/2/2006).

Itu sebabnya, Oswald dalam satu kuliahnya berani mengatakan, "Sekali satu negara sudah bisa mengisi gudang pangannya, tidak ada poinnya negara tersebut jadi lebih kaya."

Sekali lagi muncul penegasan, seperti diungkapkan Will Wilkinson dari Cato Institute, Washington DC, bahwa "dalam setiap masyarakat, pada waktu kapan pun, orang lebih kaya lebih bahagia". Namun, hal itu sendiri tidak bercerita banyak tentang hubungan antara uang dan kebahagiaan.

Terakhir, Newsweek (7/5/2007) menurunkan laporan utama "In Search of Happiness". Di sana dikemukakan pertanyaan penting, "mengapa politisi dan bahkan CEO mengkaji ulang pemikiran bahwa uang adalah ukuran tertinggi (ultimate) sukses nasional".

Pertanyaan di atas, seperti tertulis dalam laporan yang ditulis Rana Foroqhar, seolah menggugat hukum penting ekonomi yang mengatakan bahwa "kesejahteraan (well-being) merupakan fungsi sederhana penghasilan". Artinya, makin tinggi penghasilan, makin bahagia, demikian pula sebaliknya.

Kini, kebahagiaan tidak lagi dipandang sederhana dengan melihat "apa yang sudah kita punya, tetapi—misalnya saja—apakah kita punya lebih banyak dibandingkan dengan tetangga".

Dengan berubahnya tafsir atas kebahagiaan, para pembuat kebijakan kini banyak menyelidiki apa sesungguhnya yang membuat rakyat bahagia dan bagaimana mereka bisa menghadirkan itu bagi rakyat.

Kini, negara seperti Bhutan, Australia, China, Thailand, dan Inggris, telah memperkenalkan "Indeks Kebahagiaan" untuk digunakan bersama dengan produk domestik bruto (PDB) guna mengukur kemajuan satu masyarakat.

Para peneliti kebahagiaan terkemuka dunia saat berkongres di Roma belum lama ini memperdebatkan apakah sukacita itu bisa diukur, momentum untuk melangkah ke "negara bahagia" (well-being state) tampaknya sudah tak terbendung lagi. Musim panas ini, sejumlah tokoh penting, mulai dari Perdana Menteri Turki, ekonom kepala di Bank Dunia, dan pimpinan Google, akan bertemu untuk membahas cara guna beralih dari PDB sebagai ukuran kemajuan manusia.

Di era 1980-an, misalnya, slogan yang acap kita dengar adalah workaholic guna melukiskan bagaimana manusia demikian keranjingan kerja. Kini pun tema kompetisi banyak diangkat untuk memacu karyawan agar bekerja lebih keras lagi.

Pada sisi lain, yang juga telah banyak berkembang di negara maju, kalangan pekerja dan eksekutif top justru mulai mengendurkan laju kehidupan. Mereka mengatakan rela mendapat penghasilan lebih sedikit asal bisa menikmati hidup lebih nyaman, bisa punya waktu lebih banyak untuk berkumpul dengan keluarga, dan mengerjakan hal yang menyenangkan hati.

Buku-buku bertema How to Simplify Your Life atau How to Live A Simple Life karangan Elaine St James sempat menjadi bacaan yang menggugah. Namun, sekali lagi, tarik-menarik pastilah terus berlangsung antara hidup sederhana yang nyaman versus hidup dalam kelimpahan materi yang memberi kebebasan luar biasa. (Ninok Leksono)

Wednesday, May 16, 2007

Oase Moral dari Tegal

Kompas, Rabu, 16 Mei 2007

Masdar Hilmy

Mengundurkan diri dari jabatan publik karena tekanan politik merupakan pilihan yang wajar.

Namun, mengundurkan diri ketika sedang di puncak kemegahan dan kejayaan bukan saja merupakan pilihan luar biasa, tetapi juga pilihan gila, terutama saat banyak orang menginginkan ada di posisi itu. Jika mungkin, jabatan itu harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan apabila ada yang mengusiknya. Di negeri ini, figur publik yang berani mengambil pilihan gila seperti itu amat langka.

HA Ghautsun, anggota sekaligus Ketua DPRD Kodya Tegal, menjadi salah satu dari yang langka ini. Dia telah menunjukkan sebuah kualitas moral yang jarang dimiliki kebanyakan pejabat kita. Dia memilih mengundurkan diri dari posisinya saat tidak ada alasan atau tekanan politik untuk mengundurkan diri.

Apa pun alasan dan motif yang mendasarinya, pilihan moral Ghautsun menyiratkan sebuah oase moral yang adiluhung di tengah tumpul dan robohnya nurani bangsa. Pilihan itu menjadi paradoks politik mutakhir pascadrama perombakan kabinet SBY. Di tengah ketidakpuasan masyarakat akan hasil perombakan jilid II yang tidak mencerminkan tuntutan masyarakat, langkah pengunduran diri itu menjadi contoh yang layak diapresiasi dalam lanskap politik kita. Oase moral ini diharapkan mampu memancarkan energi positif bagi perbaikan tradisi dan pelembagaan politik di Tanah Air pada masa-masa mendatang.

"Mundur untuk maju"

Salah satu spekulasi yang berkembang di balik pengunduran sejumlah tokoh politik di Tanah Air adalah "mundur untuk maju". Artinya, langkah mundur seseorang hanya strategi untuk meraih sesuatu yang lain, baik dalam pengertian yang sempit, seperti jabatan lebih tinggi, maupun dalam pengertian luas (baca: berkiprah secara lebih luas di tingkat yang lebih tinggi) seperti yang ditunjukkan Sultan Hamengku Buwono X yang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Gubernur DI Yogyakarta.

Meski demikian, pilihan politik "mundur untuk maju" tetap masih lebih baik ketimbang tradisi keukeuh sebagian pejabat kita yang tidak mau mundur meski nyata-nyata gagal mengatasi persoalan yang dihadapi.

Pilihan bertahan pada jabatan yang digenggamnya merupakan bukti bahwa etika-moral sebagian besar pejabat kita masih berpijak pada positivisme hukum dan perundangan yang cenderung hitam- putih. Mereka memilih bertahan pada jabatannya sepanjang tidak melanggar undang-undang, Tradisi politik semacam ini cenderung bebal terhadap infiltrasi pencerahan nurani.

Langkah mengundurkan diri dari jabatan publik juga menjadi barang aneh sekaligus langka saat kultur politik yang tengah menjadi rule of the game adalah kultur perebutan kuasa yang nyaris tanpa malu. Yang terjadi dalam realitas politik kita adalah menguatnya kepentingan pribadi, keluarga, serta golongan di atas kepentingan rakyat banyak.

Alih-alih, pilihan mengundurkan diri justru menuai cibiran dan tuduhan mencari sensasi. Dalam arus utama kultur semacam ini, langkah pengunduran diri hanya diambil oleh mereka yang "kalah perang", "lari dari tanggung jawab", atau "menyerah sebelum bertanding". Argumentasi klise yang sering kita dengar adalah "untuk apa mengundurkan diri saat tidak ada alasan kuat untuk mengundurkan diri?"

Hedonisme dan altruisme

Dalam kamus kehidupan politik kita, tak dikenal istilah mengundurkan diri karena nalar politik kita lebih banyak dikuasai mosi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Mengundurkan diri menjadi anomali, paradoks, dan anakronisme di tengah kepungan mentalitas demikian.

Secara budaya, mengundurkan diri mungkin lebih banyak diasosiasikan dengan kegagalan atau ketidakmampuan seseorang menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Mengundurkan diri adalah bentuk ketidakbertanggungjawaban, ketidakmampuan, ketidakjantanan, dan semacamnya. Dalam budaya demikian, mengundurkan diri lebih banyak dicela ketimbang dibela.

Nilai-nilai itu terutama mengemuka dalam struktur budaya yang menempatkan maskulinitas kekuasaan dalam episentrum kesadaran politiknya. Budaya semacam ini dicirikan oleh agregasi dan penguasaan terhadap sumber-sumber daya ekonomi-politik sebanyak-banyaknya demi sebuah kemegahan dan kedigdayan.

Dalam kondisi seperti ini, mengundurkan diri dari jabatan publik berarti melepas sumber daya ekonomi-politik yang justru akan menggerus kemegahan dan kedigdayaan itu. Sebaliknya, mempertahankan kekuasaan adalah simbol kejantanan dan kedigdayaan. Sebuah persepsi yang sebenarnya kontraproduktif bagi pembangunan mentalitas politik yang bersih dan akuntabel.

Meski demikian, kecenderungan mempertahankan kekuasaan, dalam perspektif biologi evolusioner, berkelindan erat dengan kecenderungan melanggar peraturan (Roger D Masters, The Nature of Politics, 1989: 6).

Pandangan ini mendapatkan justifikasi Lord Acton dalam adagium klasiknya: power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely. Dalam pandangan mazhab pemikiran ini, manusia secara biologis cenderung hedonis dan egois, lebih mementingkan diri, serta bebas dari rasa malu saat berbagai pelanggaran moralnya tidak diketahui publik. Sejalan dengan ini, altruisme adalah watak yang cenderung dijauhi.

Sebaliknya, manusia akan mengalami rasa malu dan mau menerima hukuman hanya ketika pelanggarannya diketahui orang banyak. Maka, tidak mengherankan jika sistem penegakan hukum di sejumlah negara maju dikembangkan di atas prinsip ketidakpercayaan terhadap watak dasar manusia yang cenderung ingin melanggar peraturan.

Dalam konteks inilah program penegakan hukum selalu berjalan secara tandem dengan pengawasan publik (public surveillance) secara simultan. Sebab, sistem pengawasan bisa menciptakan pembiasaan yang pada gilirannya melahirkan norma keseharian sebagai hasil dari kristalisasi norma-norma itu ke dalam kesadaran terdalam seseorang.

Transplantasi altruisme

Secara etika-moral, dalam tradisi pengunduran diri sebenarnya terkandung konsep kehormatan diri (self-esteem) serta sikap altruistik. Ironinya, tradisi inilah yang hingga kini masih absen dari kehidupan politik kita, yakni jiwa mengorbankan diri demi kepentingan orang banyak. Sikap altruistik sebenarnya telah banyak diwartakan agama-agama, tetapi internalisasi dan pelembagaan altruisme sering berhenti pada ritualitas formal belaka. Akibatnya, misi-misi profetik agama kandas akibat pembajakan simbol-simbol keagamaan demi memenuhi tuntutan libido biologis sebagian penganutnya.

Inilah saat yang tepat untuk menggemakan kembali keluhuran altruisme dalam tradisi politik kita. Mari kita mentransplantasi pola hidup altruistik dari jiwa agama ke dalam kehidupan politik agar roh keadilan dan kesejahteraan benar-benar dapat membumi. Lebih baik dan terhormat mengikuti jejak Ghautsun, terutama bagi mereka yang merasa tidak mampu lagi mengemban tanggung jawab publiknya, daripada hidup menanggung malu.

Masdar Hilmy Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya Kelahiran Tegal


 

Teori Pembangunan Sudah Mati?

Kompas, Rabu, 16 Mei 2007

Meuthia Ganie-Rochman

Tidak banyak orang sadar, sejak pertengahan 1980-an terjadi proses polisentrisasi sekaligus pengerangkengan konsep dan teori dalam riset bidang pengetahuan sosial.

Kecenderungan pertama mempunyai beberapa karakter. Pertama, lingkup riset dan karya ilmiah bertujuan menjawab aneka pertanyaan yang lebih praktis dan berlingkup lebih sempit.

Pendekatan berpindah dari strukturalisme ke konstruktivisme. Juga terjadi a-ideologi, yaitu kian tidak mendapat tempatnya pernyataan yang tanpa data. Contoh dari tema-tema yang populer adalah studi jender, desentralisasi, modal sosial, jaringan, dan institusionalisasi.

Kecenderungan ini pada satu sisi positif karena memberi kemungkinan dihasilkan pengetahuan yang spesifik. Namun, di pihak lain, pemikiran-pemikiran tentang pembangunan yang bersifat teoretis seperti terabaikan.

Terdapat keengganan menangani konsep besar dan alergi terhadap perlunya kerangka awal intervensi pembangunan. Tema-tema seperti model ekonomi apa saja yang ada saat ini serta apa yang kita inginkan dari sana bukan sesuatu yang mudah didapat.

Latar belakang dunia mungkin berpengaruh. Negara bukan agen pembangunan yang populer lagi sejak tahun 1980-an. Yang membingungkan, India dan China sebagai kekuatan ekonomi dunia baru bukan lahir dari model pemerintahan yang dianggap ideal!

Pelaku bisnis tak pernah populer di kalangan ilmuwan sosial. Sedangkan masyarakat, di mata para ilmuwan sosial, ialah sesuatu yang penuh kemungkinan dan mengandung banyak kontradiksi sehingga sukar membayangkannya sebagai agen yang memimpin perubahan.

Kecenderungan kedua, pengaruh organisasi pembangunan internasional dan yang berasal dari negara-negara Barat semakin besar dalam menentukan isu apa yang dianggap penting dalam penelitian ilmu sosial.

Kecenderungan kedua sejalan dengan adanya dua fenomena besar. Yang pertama adalah gelombang demokratisasi atau redemokratisasi di Asia dan Amerika Latin dan dilanjutkan dengan runtuhnya negara komunis Eropa Timur.

Yang kedua adalah dorongan liberalisasi pasar, yang di Indonesia sudah mulai mengalaminya sekitar pertengahan 1980- an. Hasil dari kedua gelombang besar ini adalah fokusnya pada isu-isu tata kelola publik dan korporasi yang baik (good governance) dan kapasitas organisasi masyarakat sebagai pelaku pembangunan.

Pengaruh dari organisasi pembangunan dapat dilihat pada pertanyaan riset. Jika dalam penelitian ilmu sosial, atau penelitian ilmiah mana pun, pertanyaan yang membimbing adalah mencari pemahaman tentang "Mengapa", "Dengan cara bagaimana", dan "Dengan kondisi apa", maka pertanyaan riset menjadi: apakah organisasi publik dan organisasi masyarakat mempunyai karakteristik-karakteristik yang diharapkan (demokratik, kritis, mempunyai kapasitas pengelolaan).

Artinya, pertanyaan penelitian sudah diarahkan pada kondisi ideal tertentu. Antara riset dan program aksi batasannya menjadi lebih kabur.

Dalam konteks di atas, riset harus berarti bisa menjawab kebutuhan program aksi. Untuk pada tingkat itu, hubungan antarfaktor tidak boleh terlalu rumit dan lingkup persoalan tidak boleh terlalu luas. Inilah penyebab lain yang mendorong ke arah polisentrik penelitian. Orang cenderung melihat persoalan secara sederhana dengan harapan bisa dikontrol.

Penelitian-penelitian yang berperspektif program tentu mempunyai manfaatnya sendiri. Akan tetapi, kecenderungan ini berdampak negatif jika orang lupa bahwa tujuan penelitian adalah memahami subyek penelitian. Bertentangan dengan semangat yang sering diangkat tentang "demokratisasi lokal" penelitian yang dibawakan dengan cara seperti itu justru berkhianat untuk berusaha memahami kondisi lokal. Sebagai contoh, karakter spesifik aktor dan lembaga di tingkat lokal tidak murni ingin dipahami, melainkan sudah diarahkan dengan kerangka tertentu.

Kecenderungan untuk menjadi praktis membuat orang lupa tentang konteks besarnya. Padahal, di dunia nyata, subyek selalu terkait dengan banyak hal dan pada berbagai tingkatan. Penelitian-penelitian yang dibiayai donor dalam jumlah besar sering berbentuk kumpulan studi kasus atau studi sub-sub sektoral. Setelah berbagai kasus ini dipelajari, "lupa" menganalisa karakter konteks besarnya.

Di Indonesia, berbagai kecenderungan di atas juga terjadi. Dana penelitian yang tersedia sebagian besar dari organisasi pembangunan internasional/ asing dengan perspektif programatik seperti isu-isu demokratisasi lokal, perbaikan pelayanan publik. Banyak penelitian mengabaikan pertanyaan yang bertujuan memahami karakteristik spesifik lokal. Bahkan, hal seperti itu juga sering ditemui pada penelitian tentang lembaga-lembaga lokal dan tradisional.

Penelitian yang mengarah pada pemahaman lebih luas dari subyek sering diabaikan. Misalnya, saat ini pendekatan pembangunan daerah/kewilayahan sudah diabaikan, dan hanya melihat, misalnya, peran industri setempat dalam pembangunan ekonomi lokal.

Mungkin ada pengaruh juga dari kerangka berpikir tentang sistem politik kita, yaitu tentang desentralisasi. Sejalan dengan perubahan sistem yang menjamin dinamika politik lokal, kerangka sosial ekonomi kita juga terkurung di tingkat kabupaten/ kotamadya.

Secara tidak sadar, terdapat penghindaran untuk berpikir mengatasi persoalan ekonomi lokal dengan cara kerja sama antarpemimpin daerah. Barangkali logis juga, mengingat tingkah laku para politisi lokal.

Untuk Indonesia, menghasilkan teori pembangunan sendiri saat ini dianggap kemewahan mengingat dunia riset tidak pernah dianggap penting. Namun, kita dapat memulai dengan mendiskusikan kembali beberapa tema dasar yang diperlukan untuk penataan sosial ekonomi.

Tema-tema tersebut adalah peran negara, macam modernitas yang dibutuhkan masyarakat Indonesia, hubungan kewarganegaraan, model ekonomi untuk mengembalikan tingkat pertumbuhan, dan model reformasi birokrasi.

Bagaimanapun, berbagai macam riset harus dilakukan sebagai ukuran mengambil kebijakan dan tindakan aksi masyarakat. Kita ini amat miskin dalam memahami masyarakat kita sendiri, padahal untuk mengatasi persoalan berat bangsa ini pemikiran-pemikiran baru harus dihasilkan.

Maka, wahai pemerintah dan para politisi, berhentilah berargumen yang banal.

Meuthia Ganie-Rochman
Sosiolog Universitas Indonesia


 

Kepribadian Bangsa: Fatalisme sebagai Tantangan Terbesar Bangsa

Kompas, Rabu, 16 Mei 2007

KRISTI POERWANDARI

Manusia Indonesia tengah dicengkeram fatalisme dan tidak menyadari betapa fatalisme demikian mudah menyedot kita ke pusaran kehancuran. Begitu banyak dari kita hidup fatalistik dalam berbagai bentuknya yang berbeda.

Pengendara motor asal-asalan mengenakan helm, pengemudi mobil berpura- pura saja memasang sabuk pengaman di depan polisi, dan orang kebut-kebutan zig-zag menyalip dari bahu jalan tol.

Bila ditanya, enteng jawabannya, "Tenang saja. Cerewet amat, sih. Kalau sudah masanya, lagi tidur di kamar juga bisa mati."

Manusia-manusia makmur dan terpelajar tanpa malu melempar sampah di jalanan dan terus membangun gedung yang lebih besar, alasannya, "Sudah terlanjur. Semua orang juga begitu kan?"

Bukan aneh menyaksikan lingkungan kita mengkritik kanan kiri secara sangat vokal, jebul mereka sendiri ternyata selingkuh, main uang, atau membuat laporan fiktif. Pembenarannya, "Kalau semua orang begitu dan kita tidak, ya kitanya yang mati."

Manusia Indonesia kehilangan kerangka referensi untuk hidup tenteram lantaran demikian banyaknya masalah sosial-ekonomi-politik yang setiap harinya dijejalkan faktanya di depan kita.

Lumpur panas Sidoarjo, bencana banjir, penembakan-penembakan oleh polisi pada orang terdekatnya, korupsi dan intrik politik pejabat-pejabat tertinggi, kriminalitas dan sebutlah apa saja yang setiap hari ramai diberitakan dalam media.

Cikal bakal fatalisme sudah terasa bila kepekaan, kepedulian, dan rasa ikut bertanggung jawab sudah tidak ada.

Fatalisme erat terkait dengan rasa putus asa dan tidak berdaya. Secara sederhana fatalisme dapat diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia tidak mampu mengubah apa yang telah terjadi atau tergariskan. Keyakinan bahwa segala sesuatu pasti terjadi, menurut caranya sendiri, tanpa memedulikan usaha kita untuk menghindari atau mencegahnya.

Hegel meyakini bahwa individu semata-mata adalah alat bagi "Roh Mutlak" sehingga kita jadi mengerti bahwa primordialisme dan pengotak-ngotakan kelompok adalah juga bentuk fatalisme.

Orang muak, putus asa, dan marah melihat kebejatan moral dan kekacauan dalam masyarakat, lalu secara simplistis melemparkan kesalahan pada kelompok "yang lain".

Dari cara berpikir ini, manusia tidak memiliki kehendak bebas, dan untuk bisa keluar dari kehancuran, yang harus dilakukan adalah memerangi "yang lain" tersebut melalui keyakinan tentang apa yang dikehendaki oleh "Roh Mutlak".

Pengeboman dan penghancuran pihak lain dengan alasan apa pun, pembunuhan dalam rumah yang sekarang cukup sering diberitakan, adalah bentuk fatalisme. Bunuh diri jelas didasari fatalisme. Tetapi, keengganan berpikir juga merupakan bentuk fatalisme, setidaknya merupakan cara ampuh untuk 'memanfaatkan' fatalisme.

Kasus IPDN

Fatalisme (atau pemanfaatan fatalisme?) tampil jelas dari uraian mantan Rektor IPDN menanggapi pembekuan (sementara) kegiatan IPDN oleh Presiden. Seusai ikrar 'Anti Kekerasan' para praja yang demikian terasa rekayasanya, lebih kurang katanya, "Saya larang para praja menanggapi keputusan presiden. Kita tidak akan menanggapi. Kita ini (abdi negara, pegawai negeri) hanya melaksanakan."

Pegawai negeri = abdi negara = hanya melaksanakan = tidak berpikir? Dari frase sangat singkat dan sederhana hanya melaksanakan ini, orang bisa melakukan apa saja: korupsi, pembunuhan, pemerkosaan, dan sebut tindakan-tindakan negatif lainnya tanpa harus (merasa) bertanggung jawab atas tindakannya.

Kita ingat Eichmann penjahat perang Nazi, yang membiarkan terjadinya pembunuhan pada ribuan orang Yahudi dan menjelaskan dengan enteng tindakannya sebagai 'sekadar melaksanakan perintah'.

Bila kita memahami psikologi manusia Indonesia, fatalisme sangat laku dijual dan memang sekarang menjadi lahan peruntungan sangat empuk bagi media. Apalagi penjelasannya bila sinetron-sinetron hidayah ramai menjamur, menawarkan solusi dari masalah hidup yang amat kompleks dalam bentuk yang sangat simplistis?

Sebagian manusia Indonesia yang sudah disedot keputusasaan seperti melihat dirinya sendiri di sana: sangat teraniaya, tak mampu berbuat apa-apa. Gambaran ekstrem tentang pelaku kejahatan yang dihukum sadis dengan berdarah-darah, jenazah dipenuhi belatung, atau tak dapat dimakamkan akibat dosa yang tak terhingga mungkin dapat diterima, bahkan digemari, karena menjadi refleksi dari kemarahan sekaligus ketidakberdayaan masyarakat.

Mimbar keagamaan juga menjadi sangat laku karena banyak orang kebingungan tak menemukan jawaban duniawi dan lari pada (yang dianggap) jawaban surgawi.

Tanpa media, fatalisme sudah merebak akibat hidup yang sangat sulit bagi sebagian besar orang. Tetapi, dengan media yang memperdagangkan fatalisme, keyakinan ini disiram subur dan dapat bergulir ke sana-ke mari secara cepat dan destruktif.

Menjadi kebutuhan sangat mendesak agar semua pihak melakukan langkah-langkah memerangi fatalisme lewat berbagai cara sesuai dengan kapasitas masing-masing. Manusia Indonesia perlu memperoleh kembali optimismenya, harapannya, dan rasa berdayanya untuk membangun bangsa.

Kristi Poerwandari
Dosen Fakultas Psikologi UI dan Program Studi Kajian Wanita UI; Pendiri Yayasan PULIH

Saturday, May 12, 2007

Pendidikan dan Regenerasi Bangsa

Kompas, Sabtu, 12 Mei 2007

Yonky Karman

Menurut Pramoedya, banyak aktor sejarah di Tanah Air bukan produk pendidikan, tetapi produk budaya, sehingga bangsa Indonesia tidak dibentuk oleh pendidikan, tetapi oleh budaya (André Vitchek & Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian, 54).

Dan, budaya yang dominan adalah Jawanisme. Dalam budaya feodal, rasionalitas ilmu dalam pendidikan kalah dengan mentalitas feodal "asal bapak senang", taat kepada atasan tanpa sikap kritis. Yang penting bukan bicara kebenaran, tetapi tidak menyinggung perasaan atasan.

Swasta juga terjebak industri pendidikan. Sekolah-sekolah padat modal didirikan demi memperebutkan pangsa pasar yang jumlahnya amat kecil. Di Provinsi Papua Barat, hampir 80 persen siswa SD dan SMP terancam putus sekolah. Dengan angka, sekitar 97.000 siswa SD dan 27.500 siswa SMP. Cita-cita education for all di Tanah Air nyaris menjadi mimpi.

Pendidikan di Indonesia seharusnya mengubah mentalitas dan mengeluarkan bangsa dari keterbelakangan. Jika pendidikan berhasil melahirkan manusia Indonesia mencapai massa kritis yang mampu memberi arah perkembangan bangsa, maka terjadilah regenerasi bangsa. Martin Buber mengibaratkan pendidikan sebagai perkembangbiakan spiritual (The Writings of Martin Buber, 317-24).

Orientasi nilai

Sebagai makhluk dengan tubuh dan jiwa, regenerasi bisa dibedakan antara perkembangbiakan fisik (physical propagation) dan spiritual (spiritual propagation). Regenerasi bangsa tidak cukup hanya lewat beranak cucu, tetapi juga lewat penerusan nilai dan visi. Sebuah bangsa bertahan melebihi satu generasi karena identitas diri yang ditopang kontinuitas nilai dan visinya.

Sejauh ini, perkembangbiakan nilai belum menjadi fokus pendidikan nasional. Meski kebudayaan daerah (dan nasional?) sering diagung-agungkan, nilai tambahnya belum tampak dalam menghasilkan manusia Indonesia. Pendidikan belum dihargai sebagai jalan regenerasi bangsa.

Filosofi pendidikan kita tidak fokus. Pendidikan diselenggarakan tanpa refleksi, hanya bagian aktivisme dan kadang reaktif. Gambaran manusia Indonesia produk pendidikan nasional tidak membumi. Sebagai contoh, institusi pendidikan dibebani tujuan menghasilkan insan bertakwa, sebuah tugas yang belum tentu bisa diemban institusi agama.

Salah satu parameter keberhasilan proses pembelajaran adalah internalisasi nilai dalam beberapa tahap (kognitif-afektif-konatif-praktik). Setelah pelajar mengerti sesuatu, ia menghargai yang dipelajari. Lalu, muncul komitmen pribadi untuk melakukan yang sudah dihargai itu. Akhirnya, apa yang diyakini sebagai baik dilakukan secara konsisten tanpa hambatan internal (misalnya, rasa takut) dan eksternal (misalnya, tekanan dari orang lain).

Mengintegrasikan nilai bukan sebuah proses sederhana. Itu pendidikan hati yang melibatkan manusia seutuhnya (Thomas Moore, The Education of the Heart, 1996). Nilai dikembangbiakkan lewat refleksi dan ekspresi bebas, tetapi bermartabat. Pengajaran tidak hanya berhenti di otak. Tindakan juga bukan bagian aktivisme, melainkan bagian dari tanggung jawab.

Dalam perkembangbiakan nilai, generasi yang belajar tidak hanya menerima pengajaran, tetapi juga memproduksi dan memperbaruinya. Pelajar dibersihkan dari sampah pikiran dan diajak memikirkan kehidupan yang indah. Demikianlah, pendidikan mencerdaskan dan mencerahkan.

Orientasi proses

Pembelajaran seperti itu menempatkan pelajar sebagai subyek, pusat, dan fokus pendidikan. Guru hanya fasilitator dan pendamping murid. Proses pembelajaran dilakukan dalam suasana berbagi di antara guru dan murid. Maka, mengajar bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi kegiatan berbagi pengetahuan sekaligus ketidaktahuan.

Tekanan pembelajaran bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan yang komprehensif. Bukan hanya transfer pengetahuan atau pembekalan keterampilan, tetapi juga perkembangbiakan nilai. Maka, pendidikan melahirkan jiwa baru. Jiwa bangsa diteruskan saat generasi pengajar mentransfer nilai kepada generasi pelajar, yang nanti bertumbuh menjadi generasi pengajar yang baru.

Keberhasilan pendidikan di Indonesia harus membuktikan diri dengan memupus kultur feodal di sekolah. Dalam relasi kekuasaan yang pincang, guru cenderung merasa punya pengetahuan, murid tidak memilikinya. Murid diposisikan sebagai konsumen pengetahuan yang harus membelinya dari guru. Bahkan, transaksi itu jadi vulgar, seperti kecurangan pelaksanaan ujian nasional di Medan yang dilaporkan para penggiat pendidikan yang tergabung dalam komunitas Air Mata Guru.

Selain feodalisme, salah satu problem besar bangsa adalah sifat konsumtif lebih kuat dari sifat produktif. Konsumerisme menjadi salah satu pangkal korupsi. Maka, pencapaian pendidikan nasional harus diukur dari keberhasilan mencetak insan muda yang kreatif dan produktif.

Proses

Menjadi intelektual adalah proses yang membutuhkan ketekunan dan ketelitian. Tahun 1934, saat masih sedikit orang Indonesia bertitel sarjana, Sjahrir mengeluh kurangnya kehidupan ilmiah dan minat sungguh-sungguh atas ilmu pengetahuan di kalangan kaum bertitel (Renungan dan Perjuangan, 5-6). Ukuran orang saat itu terutama bukan tingkat kehidupan intelektual, tetapi pendidikan sekolah.

Para pemegang titel itu cuma tahu bacaan vak sendiri, tetapi mereka bukan intelektual. Bagi mereka, ilmu pengetahuan hanya sesuatu yang lahiriah, bukan kekayaan batiniah. Ilmu pengetahuan hanya diperlakukan sebagai barang mati, bukan hakikat hidup, yang berkembang, yang harus selalu dipupuk dan dipelihara.

Ketiadaan sikap intelektual bukan karena orang Indonesia kurang cerdas, tetapi karena belum terbentuk iklim dan masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Orang baru berkenalan dengan kulit ilmu pengetahuan, bukan ilmu pengetahuan sebagai pengertian yang hidup dan menuntut keseriusan, seperti banyak dijumpai di Eropa. Itulah keluhan Sjahrir.

Sejauh ini, pendidikan kita lebih berorientasi hasil. Orientasi hasil mementingkan jawaban soal daripada proses pengerjaan. Ujian nasional kita membuat siswa memfokuskan diri pada bidang-bidang studi yang diuji. Bidang-bidang studi lain yang penting dalam nation and character building menjadi terabaikan. Terjadilah pendangkalan tradisi intelektual.

Dalam masyarakat yang memiliki tradisi intelektual, studi akademis menuntut cara belajar yang baik dan serius. Untuk itu, dibutuhkan pengekangan diri dan disiplin. Meminjam istilah Weber, orang melakukan asketisisme intelektual. Cara belajar demikian dengan sendirinya menabur benih-benih watak intelektual.

Jepang menempuh jalan pendidikan untuk bangun dari kehancuran negeri akibat Perang Dunia II. Pengalaman Jepang adalah pengalaman banyak negara, seperti Jerman, Korea Selatan, Vietnam. Indonesia tidak akan maju jika terus tertinggal dalam pendidikan. Dalam jangka panjang, pendidikan di Tanah Air bisa menyelesaikan problem ketertinggalan bangsa di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelangsungan bangsa tergantung pendidikan yang berorientasi nilai dan proses.

Yonky Karman Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Cipanas

Jadwal Ujian Sekolah 2007

Hari/Tanggal

Pelajaran IPA

Pelajaran IPS

Senin

14 Mei 2007

Fisika

Sosiologi

PKn

PKn

Selasa

15 Mei 2007

Kimia

Geografi

Pend.Agama

Pend.Agama

Rabu

16 Mei 2007

TIK

TIK

Biologi

Matematika

Jum’at

18 Mei 2007

Sejarah

Sejarah

Bu Ivon Masih Sakit


Sampai saat ini bu Ivon masih sakit dalam kondisi yang tetap mengkhawatirkan

Bu Ivon mulai sakit tanggal 6 Mei 2006. Ia terserang stroke karena tekanan darah tinggi saat ia melakukan senam pagi dihalaman SMA 30 hari Sabtu. Ia melaksanakan senam pagi rutin setiap Sabtu bersama guru dan karyawan SMA 30 lainnya.

Sesaat setelah kejadian ia dibawa ke Puskesmas Rawasari dan disarankan untuk dibawa ke rumah sakit. Ia dirawat di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih selama 55 hari dan menjalani pembedahan penyumbatan darah ke otak dua kali. Saat meninggalkan RS kondisinya belum membaik tetapi karena ketiadaan biaya akhirnya ia dibawa pulang.

Alamat Bu Ivon di Perumahan Graha Indah No. 16/17A, Jati Mekar, Pondok Gede, Bekasi Ia tinggal bersama dua orang putrinya yang masih kuliah.

Mari kita do'akan agar ia cepat sembuh.

Thursday, May 10, 2007

UN Pendidikan Kesetaraan Diundur

Laporan Wartawan Kompas Indira Permanasari S

JAKARTA, KOMPAS- Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) Pendidikan Kesetaraan diundur. Ujian yang semula akan diselenggarakan pada tanggal 28-31 Mei untuk Paket C atau setara SMA ditunda hingga 19-22 Juni 2007. Sedangkan, untuk UN Kesetaraan Program Paket A dan B atau setara SD dan SMP yang sebelumnya dijadwalkan pada tanggal 4-6 Juni akan digelar pada tanggal 26-28 Juni 2007.

Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Yunan Yusuf dalam jumpa pers, Kamis (10/5) mengatakan, penjadwalan ulang UN Pendidikan Kesetaraan tersebut disebabkan usulan dari daerah yang belum siap melakukan pengadministrasian karena waktu yang berimpitan dengan persiapan UN jalur formal atau persekolahan.
Sejumlah daerah masih terfokus untuk proses penilaian akhir peserta UN yang lalu. Pengumuman kelulusan untuk UN formal tidak dilakukan serentak, melainkan diserahkan ke sekolah masing-masing. Pengumuman tersebut paling lama dilaksanakan pada 16 Juni mendatang.

Yunan Yusuf juga berharap, para pengelola pendidikan tinggi agar dapat menerima hasil ujian peserta program pendidikan kesetaraan yang telah lulus UN Pendidikan Kesetaraan. "Tidak ada beda antara pendidikan formal dan nonformal untuk UN," ujarnya.

Direktur Pendidikan Kesetaraan Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional, Ella Yulaelawati menambahkan, total jumlah peserta UN Pendidikan Kesetaraan tahun 2007 untuk Paket A, B dan C mencapai 364.984 orang. Lebih dari 23.308 orang berasal dari Pondok Pesantren yang berada di 27 provinsi dan peserta didik dari program komunitas sekolah rumah di Jakarta dan sekitarnya sekitar 1.000 orang.

Indonesia Miliki Rekor Penghancur Hutan Tercepat

Laporan Wartawan Kompas Nawa Tunggal, 3 Mei 2007

JAKARTA, KOMPAS - Sesuai data Badan PBB yang menangani masalah pangan dan agrikultur atau FAO, laju penghancuran hutan di Indonesia antara 2000-2005 tercepat di dunia mencapai rata-rata 1,871 juta hektar per tahun atau dua persen dari luas hutan tersisa 97,852 juta hektar. Data ini akan dipergunakan lembaga otoritas global pemecahan rekor Guinness World Record untuk mencatat Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat yang akan diluncurkan pada September 2007 nanti.

Demikian disampaikan organisasi kampanye lingkungan independen Greenpeace, Kamis (3/5), di Jakarta. "Greenpeace sudah menerima duplikat rencana sertifikat Rekor Dunia Guinness untuk pencantuman Indonesia sebagai penghancur hutan tercepat di dunia," kata Hapsoro, Juru Kampanye Hutan Greenpeace regional Asia Tenggara.

Pencantuman rekor dunia itu diungkapkan dengan kalimat, "Dari 44 negara yang secara kolektif memiliki hutan 90 persen hutan, negara yang meraih tingkat laju penghancuran hutan tercepat di dunia adalah Indonesia, dengan 1,871 juta hektar hutan dihancurkan per tahun antara 2000 hingga 2005 - sebuah tingkat kehancuran hutan sebesar 2 persen setiap tahun atau 51 kilometer persegi per hari."




Madu Cegah Amputasi Pasien Diabetes

Kompas, 7 Mei 2007

Mengoleskan madu pada bagian kaki yang luka, merupakan alternatif untuk menghindari terjadinya amputasi pada pasien diabetes. Hal tersebut dibuktikan oleh seorang dokter dari Universitas Wisconsin, AS, yang berhasil membantu pasien-pasiennya menghindari amputasi. Kini ia berencana menyebarkan terapi madu tersebut.

Menurut Profesor Jennifer Eddy dari University School of Medicine and Public Health, madu bisa membunuh bakteri karena sifat asamnya, selain itu madu juga efektif menghindari sifat kebal bakteri akibat penggunaan antibiotik. "Ini adalah hal yang penting dalam dunia kesehatan," katanya. Dalam terapi madu ini, bagian yang luka baru bisa diolesi setelah kulit mati dibersihkan.

Pasien diabetes memang seharusnya sejak dini memerhatikan secara serius bagian kaki, terutama untuk mencegah terjadinya luka yang berlanjut dengan infeksi. Memberi perhatian serius pada kaki dengan melakukan kontrol yang baik terhadap penyakit diabetes yang diidap disebabkan timbulnya gangguan pada kaki penderita diabetes.

Gangguan itu berupa kerusakan pada saraf dan kerusakan pembuluh darah dan infeksi yang membuat penderita diabetes mengalami mati rasa (baal) pada kakinya. Karena itu, biasanya penderita diabetes tidak menyadari terjadinya luka pada kaki karena tak langsung tampak.

Terapi madu telah digunakan sebagai pengobatan alternatif di Eropa, bahkan di Selandia Baru terapi ini dipakai untuk mengobati sulit tidur. Profesor Eddy mulai tertarik untuk mencoba terapi madu setelah mengetahui tradisi penggunaan madu dalam dunia pengobatan masa lampau.

Ia mulai melakukan uji coba sejak enam tahun lalu. "Saya mulai mencoba terapi ini setelah segala pengobatan gagal. Sejak kami memakai madu, penggunaan semua jenis antibiotik kami hentikan dan berhasil," katanya. Sampai saat ini penelitian tersebut masih berlanjut dan diharapkan selesai pada tahun 2008 atau 2009.



Sumber: AFP
Penulis: An

Pak Inung meninggal dunia


Pak Inung meninggal dunia di rumah sakit POLRI Dr Soekanto, Kramat Jati, hari Selasa pukul 3 sore di ruang ICU dihadapan keluarganya.

Pak Inung meninggal karena kakinya menginjak paku pada Senin sore 30 April 2007 di rumahnya di Cilodong. Luka terpijak paku ini tidak menyebabkan rasa sakit sehingga pak Inung tidak memperhatikannya. Baru pada keesokan harinya pak Inung melihat kakinya mengalami infeksi dan menyebabkan demam.

Pada hari Rabu pak Inung memeriksanya ke dokter dan berobat. Selanjutnya ia beristirahat di rumah. Luka kakinya membaik dan demamnya mereda. Tetapi keadaan memburuk pada hari Sabtu dan pak Inung kembali ke dokter yang kemudian menyarankan untuk dibawa ke rumah sakit.

Pak Inung masuk rumah sakit pada hari Minggu dan sudah mulai kejang akibat tetanus yang disebabkan karena tertusuk paku seminggu sebelumnya. Menurutnya punggung terasa kaku dan sakit sehingga ia tidak dapat berbaring untuk istirahat. Ia hanya bisa duduk sepanjang malam sambil menahan sakit dan sulit berkomunikasi karena otot sekitar rahang sudah mulai kejang dan kaku.

Hari Senin siang dokter rumah sakit yang memeriksanya memberi obat melalui infus sehingga kini ia dapat berbaring.

Dari Minggu malam pak Inung sudah mendapat kunjungan dari kepala sekolah pak Wayan dan teman-teman guru serta para siswa pada keesokan harinya. Kunjungan dari teman dan kerabat terus berlanjut sampai Selasa siang. Tapi sebagai pasien tetanus sebenarnya ia harus dirawat di ruang gelap, dan tidak boleh dibesuk atau diganggu. Sayang ketentuan ini nampaknya kurang dipahami bahkan oleh perawatnya sekalipun.

Hari Selasa siang pak Inung di pindahkan ke ruang ICU dan pukul 15 ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Ia tidak merasa sakit ketika tertusuk paku karena ia juga menderita diabetus melitus. Sebagaimana penderita diabet yang biasanya baal ia tidak merasa sakit bila terluka. Sedangkan luka penderita diabet biasanya lambat sembuh.


Pak Inung lahir di Purwokerto 49 tahun yang lalu. Menamatkan IKIP Jakarta jurusan pendidikan Matematika tahun 1986 dan pada tahun itu juga ia mengajar matematika di SMA 30 Jakarta sampai saat ia meninggal. Pak Inung pernah belajar menjadi pilot di Sekolah Penerbangan Curug, Tanggerang sebelum masuk IKIP. Tapi tidak selesai. Selama menjadi guru SMA 30 selain mengajar ia juga lama menjadi wakil kepala sekolah bidang kesiswaan selama beberapa periode.

Selamat jalan pak Inung.

Tuesday, May 8, 2007

Jadwal Kegiatan Sekolah Akhir Semester II Th 2006-2007

No

Tanggal

Kegiatan

1.

16 April ‘07

Rapat Guru/Pengawas UN, Seluruh siswa belajar di rumah

2.

17 – 19 April ‘07

Siswa kelas XII melaksanakan UN, siswa kelas X dan XI belajar di rumah

3.

20 April ‘07

Siswa kelas XII melaksanakan ujian praktek tertulis bahasa Indonesia, Inggris, Jerman; siswa kelas X dan XI belajar di rumah

4.

23 – 27 April ‘07

Seluruh siswa belajar seperti biasa

5.

30 April – 5 Mei ‘07

Siswa kelas XII ujian praktek, siswa kelas X, XI belajar seperti biasa

6.

7 – 11 Mei ‘07

Seluruh siswa belajar seperti biasa

7.

14 – 18 Mei ‘07

Siswa kelas XII melaksanakan ujian sekolah (US), siswa kelas X dan XI belajar di rumah

8.

23 Mei ’07 dan selanjutnya

Siswa kelas X dan XI belajar seperti biasa

9.

4 – 15 Juni ‘07

Ujian Blok II

10.

16 Juni ‘07

Pengumuman Hasil Ujian Kelas XII

11.

30 Juni ‘07

Pembagian Rapor Semester II

12.

1 – 14 Juli ‘07

Libur Akhir Semester II

13.

9 – 14 Juli ‘07

PSB

14.

16 Juli ‘07

Hari Pertama sekolah Tahun Ajaran 2007 - 2008